Bagaimanakah Mengobati Alergi?
Alergi ternyata merupakan kumpulan penyakit yang cukup sering dijumpai di masyarakat. "Sekitar 20 persen penduduk pernah menderita alergi," kata spesialis paru RS Gading Pluit, dr Irwandi R SpP.
Di samping aspek genetik dan lingkungan sebagai pemicu, rupanya permeabilitas saluran cerna juga turut berpengaruh. Konsekuensinya, bayi lebih rentan terkena alergi, mengingat kondisi saluran cernanya belum sempurna. Itulah sebabnya, bayi disarankan diberi ASI (air susu ibu) eksklusif, setidaknya hingga usia 6 bulan.
Pada dasarnya, tidak ada bayi yang alergi ASI. Kalaupun didapati gejala seperti bayi sering menangis tanpa sebab, sebenarnya bukan disebabkan ASI-nya, melainkan makanan yang dikonsumsi ibunya selama menyusui. Untuk itu, ibu menyusui harus benar-benar memperhatikan pola makannya.
Nah, bayi yang tidak mendapat ASI biasanya digantikan dengan susu sapi. Padahal, di Indonesia susu sapi merupakan penyebab alergi terbanyak, terutama pada bayi. "Susu sapi yang merupakan protein asing utama bagi bayi pada bulan-bulan awal kehidupannya berpotensi menimbulkan reaksi alergi yang pertama kali, dengan gejala-gejala pada saluran cerna seperti diare dan muntah," ungkap Dr Zakiudin Munasir SpA(K).
Alergi akibat protein susu sapi (baik dalam bentuk es krim, keju, atau kue) bisa menetap sampai akhir masa kanak-kanak. Namun,anak yang alergi susu sapi belum tentu alergi terhadap daging sapi maupun bulu sapi. Telur ayam juga sering kali menjadi allergen, terutama pada anak yang menderita dermatitis atopik.
Kacang kedelai dan sejenisnya mempunyai sifat alergenitas yang rendah sehingga sering digunakan sebagai pengganti susu sapi pada anak yang alergi terhadap susu sapi, namun sifat allergenitas ini bisa dikurangi dengan cara memanaskannya.
Terkait pengobatan alergi, dokter biasanya memberikan obat-obatan seperti antihistamin dan kortikosteroid (baik yang diberikan lewat mulut, suntikan, maupun inhalasi) untuk memperkuat dinding sel mast dalam tubuh pasien. "Obat-obatan umumnya hanya menghilangkan gejala-gejala tanpa menghilangkan faktor penyebabnya. Jadi, sembuhnya kerap hanya sementara," ungkap Irwandi.
Sementara itu, imunoterapi dilakukan dengan menyensitisasi. Caranya, kulit si pasien dipapari allergennya sedikit demi sedikit sehingga lama-lama menjadi kebal (tollerance). Dr Wesley Burks, dalam tulisan yang dipublikasikan di Lancet Medical Journal baru-baru ini juga mengemukakan tentang kemungkinan terobosan baru imunoterapi untuk alergi kacang.
"Seperti halnya terapi lainnya, terapi ini nantinya akan mengubah respons kekebalan terhadap kacang-kacangan dari yang tadinya alergi menjadi nonalergi," katanya.
Sebagai bahan untuk imunoterapi, Burks mengusulkan menggunakan genetik protein yang terkandung dalam kacang-kacangan itu sendiri. Ia optimistis akan metode tersebut, mengingat bukti keberhasilan penerapan metode yang sama, misalnya percobaan herbal China terhadap hewan.
"Rancangan genetik ini juga memungkinkan terciptanya jenis kacang bebas alergi," ungkapnya.
Selain obat dan imunoterapi, upaya menghapus alergi juga bisa ditempuh melalui alat yang berprinsip pada terapi bioresonansi. Dasar pengobatan alat asal Jerman yang disebut Bicom 2000 ini menggunakan pendekatan ilmu fisika, yaitu gelombang atau kuantum. (sindo/oz)
No comments:
Post a Comment